tata ruang kota untuk perumahan |
TEMPO Interaktif, Jakarta - Pengamat kebijakan dari Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago menilai kebijakan perumahan bisa jadi solusi mengatasi kemacetan Jakarta. "Kalau kebijakan perumahan itu bagus, manajemen transportasi pasti berubah dan kemacetan akan berkurang," kata Andrinof di Lenteng Agung, Ahad, 30 Oktober 2011.
Kebijakan perumahan, kata dia, bisa meningkatkan kualitas pelayanan sektor transportasi, kebersihan, ketertiban lingkungan, pelayanan darurat bencana, pembangunan modal sosial. Selama ini, kata dia, negara melepas 99 persen sektor perumahan ke mekanisme pasar. "Padahal sektor perumahan adalah kebijakan mendasar. Lihat kota-kota lain di jepang, korea, mereka menjadikan perumahan sebagai kebijakan perkotaan," katanya. Itu juga dapat mendorong proyek transportasi yang tengah berlangsung seperti MRT dan busway.
Menurut Andrinof, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa) bisa digunakan untuk membangun apartemen bersubsidi. Tahun ini saja, kata dia, Silpa diperkirakan mencapai Rp 4 triliun. "Rp 1 Triliun saja bisa digunakan untuk membangun perumahan," katanya.
Tanah yang jadi masalah utama, kata dia, bisa mengambil lokasi bekas pasar yang tak terpakai. Saat ini dari 151 lokasi pasar yang dimiliki PD Pasar Jaya, hanya 97 yang masih difungsikan sebagai pasar.
Menurut dia, pertumbuhan penduduk DKI Jakarta selama dia tahun terakhir meningkat drastis sehingga sama dengan angka nasional. "Itu harus dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk bodetabel yang tingginya hampir empat kali lipat dari DKI," katanya. Dia menunjukkan data pertumbuhan penduduk DKI selama 2000-2010 mencapai 1,41 persen per tahun. Sedangkan laju pertumbuhan di Bogor 4,3 persen, Bekasi. 4,6 persen, Depok 4,2 persen dan Tangerang 5,4 persen.
Pengamat Tata Kota dan Transportasi Yayat Supriatna, dalam kesempatan yang sama, menganggap peruamahan di Jakarta tidak layak. "Jakarta belum memiliki sistem transportasi andal dan belum memiliki perumahan yang layak," katanya.
Saat ini, kata dia, sudah ada 9,6 juta jiwa ditambah 2,5 juta jiwa yang keluar-masuk DKI Jakarta setiap harinya. Padahal daya tampung Jakarta yang termaktub dalam Perda RT/RW 2030 hanya 12,5 juta jiwa. "Perkiraan kami pada 2030 bakal ada 15 juta jiwa tinggal di Jakarta, 2,5 juta jiwa itu mau dikemanakan," katanya.
Selain itu dia mempertanyakan sistem transportasi makro jakarta yang terdiri dari MRT, Light Rail Transit (Monorel), Busway dan Waterway. "Apakah itu masih jadi rujukan? Monorel sudah tutup buku. Waterway no way, motor is my way. Motor jadi pilihan apalagi buat yang tinggal di pinggiran," katanya.
Menurut dia ada 20-24 juta perjalanan di ibukota setiap harinya. Bila dihitung dengan wilayah jabodetabek jumlahnya bertambah jadi 40-45 juta perjalanan. "Motor masih jadi pilihan yang murah dan praktis, kalau naik angkot bisa berkali-kali ganti, jatuhnya lebih mahal".
Ketua (Plh) DPD DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat mengatakan masalah ibu kota mau tak mau membutuhkan campur tangan pusat. "Kalo Jakarta semerawut, gubernur yang bertanggung jawab. Tapi semua tetap tak terlepas dari pemerintah pusat," katanya.
Sedangkan anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P Effendy Simbolon menilai pemerintah provinsi bisa menggunakan acuan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai ibu kota negara kesatuan Republik Indonesia sebagai dasar untuk mengambil kebijakan perkotaan.