PERUMAHAN DAN INFRASTRUKTUR DI PAPUA


Rumah papua
Penataan Wilayah I Prioritaskan Pembangunan Infrastruktur



KORAN JAKARTA - Papua adalah sebuah ironi. Provinsi yang boleh dikatakan paling kaya ini sekaligus menyandang predikat provinsi termiskin. Papua berlimpah sumber daya alam. PT Freeport, tambang emas dan tembaga terbesar di dunia, ada di sini. Papua juga memiliki kilang LNG Tangguh, lapangan gas terbesar di dunia. Kekayaan hutan berikut keragaman hayati dan plasma nutfahnya luar biasa. Namun, mayoritas rakyatnya masih bergelut dengan kemiskinan yang akut.

"Itu yang membuat mereka kecewa dan tak puas atas keadaan di Papua. Mereka tahu Papua kaya dengan mineral, minyak, kayu, dan pertambangan. Tapi hasil dari kekayaan itu tidak berbuah menjadi kemajuan di Papua," kata Guru Besar Sosiologi Universitas Brawijaya Darsono Wisadarana ketika dihubungi Koran Jakarta, Kamis (27/10).

Perlawanan yang dilakukan orang Papua, kata Darsono, harus dipahami dalam konteks kekecewaan terhadap ketidakadilan yang terus berlangsung di provinsi tersebut. Ketidakadilan atas hasil sumber daya alam yang tak berbading lurus dengan pembangunan sarana dan prasarana seperti infrastruktur jalan, kesehatan, dan pendidikan.

"Untuk itu, pemerintah pusat dan provinsi serta kabupaten/kota di Papua perlu mengubah cara pandang terhadap pembangunan selama ini di Papua. Pembangunan yang akan dilaksanakan adalah pembangunan untuk Papua (development for Papua), bukan lagi pembangunan di Papua (development at Papua)," tegas Darsono.

Darsono mengingatkan bahwa masyarakat yang selama ini bergabung dengan pekerja PT Freeport Indonesia melakukan unjuk rasa adalah mereka yang belum menikmati buah otonomi khusus yang mulai dilaksanakan sejak 2001. Sejak otonomi khusus berjalan, kucuran dana dari pemerintah pusat melalui dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus, serta dana tambahan infrastruktur terus meningkat. Total dana otonomi khusus yang telah dikucurkan sejak 2002 sampai 2011 mencapai 32 triliun rupiah.

"Sayangnya, sebagian besar dana itu justru dinikmati pejabat pemerintah dan elite lokal. Mereka bisa hidup mewah, sebaliknya rakyat tetap sengsara," tegas Darsono.

Di bidang pendidikan, tingkat partisipasi anak sekolah usia 7 tahun sampai 18 tahun di Papua hanya 65,76 persen, sedangkan tingkat nasional mencapai 79,53 persen. Kondisi itu hanya bisa diperbaiki bila pemerintah mampu mendirikan sekolah dasar hingga SLTA yang bertaraf nasional di daerah itu. Yang tidak boleh dilupakan adalah peningkatan pendapatan guru harus dua kali lipat dari daerah lainnya.

"Demikian juga dengan pelayanan bidang kesehatan yang masih minim, antara lain tecermin dari angka kematian bayi di Papua yang mencapai 30,84 persen dan Papua Barat 31,76 persen, padahal di tingkat nasional tercatat 26,89 persen," tegas Darsono.

Akar Masalah


Peneliti dari LIPI, Ikrar Nusa Bakti, juga mengungkapkan bahwa akar permasalahan konflik laten Papua adalah ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat Papua. Ikrar mengatakan laporan BPS Maret 2010 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di Papua mencapai 761.620 jiwa (36,80 persen), sedangkan di Papua Barat pada periode yang sama mencapai 256.250 jiwa (34,88 persen). Total penduduk miskin di kedua provinsi tersebut, pada bulan Maret 2010, mencapai 1.017.870 jiwa.

"Dibandingkan dengan penduduk miskin pada tahun 2002, ketika awal kebijakan otonomi khusus dijalankan, yang berjumlah 984.000 jiwa (41,80 persen), berarti jumlah penduduk miskin naik sebesar 33.870 jiwa. Tingkat kemiskinan Papua juga jauh melampaui rata-rata nasional sebesar 13,33 persen," tegas Ikrar.

Ikrar mengingatkan agar pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur untuk memperbaiki ketertinggalan yang dialami masyakarat Papua. "Bila infrastruktur tidak ada, daerah itu tetap akan menjadi kawasan yang terbelakang. Kemiskinan akan terus menghantui mereka. Orang Papua itu melakukan perlawanan karena mereka lapar. Kelaparan itu harus dilawan dengan peningkatan kesejahteraan mereka. Kalau mereka merasakan keadilan, pasti mereka tidak akan berontak," tegas Ikrar.

Akses jalan, transportasi laut, dan bandara baru yang bisa membuka isolasi daerah tersebut harus menjadi perhatian utama pemerintah. Keadilan yang dituntut masyarakat Papua adalah pembangunan infrastruktur yang nyata. "Kalau sebuah daerah dialiri listrik, ada sarana telepon, ada air bersih, pembangunan pasti terjadi di daerah itu," tegas Ikrar.